Rumah Karawo Mengangkat Kearifan Lokal Gorontalo Menembus Pasar Global
Untuk edisi ini Fashion Notes mendapatkan wawasan baru tentang Karawo dan berbincang dengan Agus Lahinta, owner, founder dari Rumah Karawo yang berupaya mengangkat kain khas Gorontalo ini menjadi luxury product hingga go global.
Umumnya masyarakat belum banyak mengenal kain Karawo yang diproses cukup rumit, tidak semudah sulaman tangan biasa dan memiliki lima tahapan penting menentukan hasil kualitas sulam. Tahap pertama adalah mendesain motif diatas kertas kotak – kotak kemudian tahap kedua memindahkan desain motif pada kain dengan mengiris kain secara vertical dan horizontal berdasarkan motif yang didesain, bila diperlukan pengirisan yang besar maka dilakukan sesuai ukuran desain motif, proses ini yang menentukan berhasil atau tidaknya selembar kain tersebut untuk dilanjutkan ke proses ke 3, 4 dan 5. Detil pada tahapan ketiga adalah mencari serat kain lalu dimasukkan benang untuk dijelujur berdasarkan serat, diiris menggunakan silet, ketika dijelujur ada bagian yang tidak teriris di bagian bawah, begitu seterusnya diulang sampai panjang diinginkan berdasarkan motif, dilakukan hal yang sama secara vertical dan horizontal. Setelah dilubangkan menjadi kotak-kotak kecil sudah ada tampilannya kemudian dicabut benang- benangnya yang sudah diiris tadi.Permukaan kain dibuat menjadi kotak – kotak kecil seperti kotak strimin kemudian masuk ke proses keempat untuk diikat agar bentuk kotaknya rapat dan lebih terlihat bentuk kotaknya jelas, Motif yang digambar dikertas strimin dipindahkan ke kain dengan cara disulam mengikuti kotak dan arah yang sesuai dari kertas strimin. Untuk mendapatkan sulaman yang bagus dan rapat diperlukan 8 kali per kotak sehingga terlihat seperti 3 dimensi oleh Rumah Karawo. Artisan lainnya ada yang mengerjakan hanya 3 atau 4 kali saja sulamannya tidak sebanyak Rumah Karawo namun cukup beresiko jika kain tersebut dicuci, benang sulamannya akan rusak karena longgar. Kain Karawo dihasilkan dengan variasi lamanya waktu minimal 1 minggu untuk motif yang paling kecil, motif yang besar bisa 2 sampai 3 bulan untuk selembar kain menggunakan jeniskain yang paling mudah yaitu katun (katun toyobo). Untuk pilihan kain lainnya sutra juga bisa tapi yang berjenis campuran seperti taffeta, pada kain organza atau organ dipenggunaan motifnya tidak boleh besar – besar.
Agus Lahinta menuturkan sebagai anak daerah mempunyai tanggung jawab sosial untuk daerah kelahirannya dengan menjadi socio-entrepreneur bertanggung jawab kepada artisan, tim yang bekerja dengannya, bertujuan menggiatkan perekonomian daerah mengangkat kearifan lokal. Dari awal perjalanan Rumah Karawo, Agus Lahinta berupaya mengangkat derajat kain Karawo karena sudah puluhan tahun image kain ini menengah ke bawah. Sebelum menetap kembali di Gorontalo, Agus Lahinta masih merantau di Pulau Jawa kemudian ketika dia kembali melihat adanya ketidakwajaran pada apresiasi kain Karawo yang prosesnya rumit tapi dihargai murah. Namun setelah Agus Lahinta meriset beberapa hasil karya Karawo merasa wajar akan rendahnya apresiasi pasar karena kain yang dijual dibuat seadanya karena artisan tidak mempunyai jaringan komunitas untuk menjual Karawo yang bisa mengangkat kain ini. Jika ada tapi selera berbeda karena dari bahan yang digunakan dan motif desain tidak keinginan target marketnya.Agus Lahinta menambahkan seperti contohnya mengapa orang mau membeli kain batik yang bernilai sampai jutaan karena strata mereka ada di sana, maka itu produk kain Karawo saya perbaiki dari bahannya, jahitannya, motif desainnya, kualitas hingga packagingnya. Namun, sekarang sudah diapresiasi banyak kalangan atas dan Rumah Karawo memfokuskan pemasaran ke pasar menengah ke atas dan atas sebagai luxury products ditujukan untuk segmentasi pasar yang lebih mengutamakan kualitas dan merujuk perkembangan motif desain Karawo mengikuti jaman. Menurut Agus Lahinta karena kecintaannya sangat mendalam terhadap Karawo sehingga sudah menganggap kearifan lokal tersebut seperti anak sendiri dengan menempatkan Karawo berada di lingkup terbaik agar terlihat bagus, ekslusif. Bahkan Agus Lahinta juga mentransfer pemikiran ke masyarakat tentang idealismenya membangun tempat baru Rumah Karawo dimana lantai 2 dibangunnya sebuah mini museum tentang proses pembuatan Karawo dan beberapa kumpulan memorabilia. Selain itu juga terdapat program belajar di Rumah Karawo untuk mengajarkan cara mendesain dan proses lainnya sebagai bagian dari program CSR Rumah Karawo. Karena orientasi Agus Lahinta bukan hanya melakukan bisnis tapi mampu memberikan edukasi, informasi sebagai tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat.
Beberapa bulan yang lalu Rumah Karawo juga bekerjasama dengan kelompok mahasiswa Universitas Ciputra Fashion Produk Desain dan Bisnis membuktikan bahwa Karawo juga bisa untuk target pasar millennial. “Mahasiswa UC saya minta untuk membuat desain fashion dengan kain Karawo menggunakan versi mereka karena ingin tahu cara penerapan yang out of the box dari orang – orang bukan asal Gorontalo supaya Karawo dapat lebih beragam dan kaya, hasil karya kolaborasi ini juga kami diabadikan di mini museum Rumah Karawo” terang Agus Lahinta.
Hingga kini perjalanan Rumah Karawo mengangkat Karawo sebagai warisan budaya Gorontalo telah sampai di pasar global dengan berpartisipasi di Couture Fashion Week New York, Artisan and Product Exhibition di New York, suatu upaya kontribusi Agus Lahinta untuk melestarikan kearifan lokal kain Karawo.
Tentang Janet Teowarang:
Janet Teowarang merupakan founder dan creative director brand fashion miliknya yaitu Allegra Jane, selain itu Janet juga menjadi dosen di Universitas Ciputra Surabaya. Janet meraih Australia Awards dari Pemerintah Australia di sektor Fashion dan Textile. Karyanya juga telah dipresentasikan di Indonesia Fashion Week, Mercedes Benz Asia Fashion Award dan mengikuti kompetisi Mango Fashion Award di Spanyol.