twitter  
Profil  

Senin, 31 Mei 2021 | 11:55 wib
Hari Tanpa Tembakau : Tak Bosan Menggaungkan Hidup Bebas Rokok
 

Hari Tanpa Tembakau diperingati pada 31 Mei setiap tahunnya untuk memperingatkan publik bahaya penggunaan tembakau pada kesehatan. Di tengah pandemi ini, lepas dari rokok juga disebut bisa mengurangi risiko terinfeksi Covid-19. Orang yang tidak merokok pun bisa lebih sehat sehingga kekebalan tubuhnya sanggup menghadapi virus SARS-CoV-2. 

"Ketika seseorang berhenti merokok, akan sedikit sekali kondisi mulut menyentuh tangan, sementara kita tahu bahwa tangan bisa saja membawa virus Covid-19, apalagi yang jarang cuci tangan, begitu juga sebaliknya." kata dokter spesialis paru Feni Fitriani. Tidak hanya rokok, kondisi yang sama juga terjadi pada vaping, shisha, dan jenis rokok elektrik lain yang mengandung tembakau, baik itu cair maupun padat.

Bukan hanya karena tangan sering berdekatan dengan mulut sehingga mudah terpapar Covid-19, merokok bisa menyebabkan kerugian lain seperti mengganggu kerja sistem kekebalan tubuh. 

Merokok membuat aktivitas enzim angiotensin-converting enzyme-2 (ACE2) pada sel tubuh menjadi meningkat berlebihan. Sementara reseptor ACE2 ini menjadi 'pintu masuk' untuk Covid-19. Singkatnya, merokok memperbanyak jumlah ACE2 pada sel tubuh sehingga meningkatkan risiko terkena Covid-19.

Merokok juga dapat memperlambat kerja kognitif otak. Dokter spesialis kejiwaan Tribowo Ginting menjelaskan, nikotin yang dibawa masuk reseptor otak ke bagian-bagian dalam otak dapat menyebabkan kelemahan berpikir. Susunan konsentrasi nikotin dalam otak bisa membuat bagian prefrontal cortex lambat bekerja. Alhasil, seseorang sulit mengambil keputusan atau berpikir.

Menurut data Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pada 2016, Indonesia termasuk negara dengan penduduk perokok terbanyak di Asia Tenggara. Sebanyak 66 persen penduduk laki-laki usia dewasa Indonesia dan 6,7 persen penduduk perempuan merupakan perokok aktif. Sementara di antara negara ASEAN lainnya, Indonesia juga menyumbang sebanyak 53,3 persen perokok, sedangkan negara lainnya hanya menyumbang di bawah angka 15 persen. Angka perokok anak juga tidak kalah sedikit, dimana menurut Global Youth Tobacco Survei pada 2019, sebanyak 19,2 pelajar Indonesia merokok yang tentunya mengancam masa depan generasi muda.